Beranda » Rangkap Jabatan Sekda-PLT DPKPCK, Menentang Peraturan Bupati Malang sendiri

Rangkap Jabatan Sekda-PLT DPKPCK, Menentang Peraturan Bupati Malang sendiri

Malang, Beritahumas.com – Penunjukan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Malang sebagai Pelaksana Tugas (PLT) Kepala Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Cipta Karya (DPKPCK) patut dipertanyakan sebab rawan menimbulkan persoalan etika dan tata kelola yang serius.

Sebab sebagai pejabat tertinggi dalam birokrasi pemerintahan daerah, Sekda memiliki fungsi strategis yang mencakup koordinasi, pembinaan, pengawasan, hingga evaluasi terhadap seluruh perangkat daerah, termasuk DPKPCK.

Maka ketika Sekda merangkap sebagai PLT Kepala Dinas, sesungguhnya terjadi situasi di mana Sekda mengawasi kinerjanya sendiri, yang jelas menciptakan potensi benturan kepentingan yang serius.

Hal ini bertentangan dengan semangat Peraturan Bupati Malang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Penanganan Benturan Kepentingan, khususnya Pasal 4, yang menekankan pentingnya:

menciptakan budaya kerja yang mampu mengenali dan mencegah situasi benturan kepentingan secara transparan dan efisien,

menegakkan integritas aparatur pemerintah, mencegah pengabaian terhadap kendali mutu dan fungsi pengawasan, serta mewujudkan pemerintahan yang bersih dan akuntabel.

Menurut Bupati Lumbung Informasi Rakyat Kabupaten Malang, Wiwid Tuhu P., SH., MH,

ketika seorang pejabat strategis seperti Sekda sekaligus menjabat sebagai PLT Kepala Dinas, maka kontrol dan pengawasan yang seharusnya bersifat independen menjadi timpang. Hal ini tidak hanya melemahkan fungsi akuntabilitas birokrasi, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya konflik kepentingan yang berdampak pada kualitas pelayanan publik, transparansi pengambilan keputusan, dan risiko kerugian negara.

selanjutnya, Peraturan Bupati Malang Nomor 15 Tahun 2025 tentang Nilai Dasar, Kode Etik dan Kode Perilaku ASN di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Malang menguatkan kewajiban aparatur untuk menjaga netralitas, menghindari konflik kepentingan, dan bertindak dengan integritas tinggi dalam setiap pelaksanaan tugas. dalam kode etik/perilaku tersebut, ASN diwajibkan untuk:

menolak setiap tindakan yang dapat menimbulkan konflik kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung;

menjaga objektivitas dan akuntabilitas dalam pelaporan kinerja / pengambilan keputusan; menjunjung transparansi dan kejujuran dalam pelaksanaan tugas dan wewenang.

Dengan demikian, rangkap jabatan tersebut tidak hanya tidak etis, tetapi juga bertentangan dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik sebagaimana diamanatkan dalam peraturan daerah sendiri.

Idealnya, jabatan PLT diisi oleh pejabat lain yang tidak berada dalam posisi pengawasan langsung, seperti misalnya diisi oleh pejabat yang setara dan atau bahkan dibawahnya guna menjaga obyektivitas dan mencegah praktik birokrasi yang rawan konflik kepentingan.

Sebab sangat jelas, rangkap jabatan Sekda–PLT Kepala Dinas membuka celah bagi konflik kepentingan : ketika ada evaluasi kinerja, audit internal, pengawasan anggaran atau kebijakan di DPKPCK, siapa yang bisa secara objektif memeriksa dan memastikan tidak ada penyalahgunaan atau penyimpangan? Tidak ada; karena pejabat yang seharusnya menjadi pengawas justru adalah dirinya sendiri.

Dengan demikian, menempatkan Sekda sebagai PLT Kepala Dinas tidak hanya melemahkan fungsi pengawasan (karena kontrol eksternal menjadi tidak independen), tapi juga secara nyata melanggar semangat dan ketentuan etika ASN serta pedoman benturan kepentingan yang telah diatur dalam Perbup 9/2018 dan Perbup 15/2025.

Oleh karenanya, rangkap jabatan tersebut sangat tidak etis dalam kerangka tata pemerintahan yang baik. Idealnya, posisi PLT harus diisi oleh pejabat lain yang tidak berada langsung di bawah pengawasan yang mesti melakukan evaluasi, agar objektivitas, integritas, dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan tetap terjaga sesuai aturan daerah dan prinsip-prinsip etika publik.

Prs/ Hr

Berita Update Humas Indonesia