Malang, Beritahumas.com — Di PHK tanpa kejelasan Hak, sejumlah buruh yang telah lama bekerja di Toko Buku Toga Mas mengaku diberhentikan secara sepihak dengan alasan penutupan toko pusat. Namun yang memprihatinkan, hingga kini pihak manajemen belum memberikan kejelasan mengenai nasib hak-hak perburuhan mereka.
Menurut data yang diterima wartawan, para buruh yang di-PHK tersebut memiliki masa kerja bervariasi, mulai dari 13 tahun hingga 20 tahun. Mereka telah lama mengabdikan diri di perusahaan tersebut sejak Toga Mas berdiri dan berkembang di seantero Indonesia.
Salah satu buruh yang diwawancarai menyampaikan harapannya agar hak-hak mereka dapat dipenuhi sesuai dengan ketentuan hukum.
“Kami ingin hak kami sebagaimana ketentuan hukum diberikan, karena kami ini sudah ikut membangun Toga Mas sampai berjaya. Kalau pun sekarang dinyatakan sedang sulit, faktanya kami juga dalam keadaan sulit, masak ya hak kami harus dikorbankan,” ujar salah satu buruh dengan nada kecewa.
Lebih lanjut, informasi yang dihimpun menunjukkan bahwa sebagian buruh tidak menerima upah sesuai dengan Upah Minimum Regional (UMR) sebagaimana seharusnya. “Kami tetap bertahan meski upahnya tidak sesuai, karena merasa sama-sama berjuang,” ungkap seorang buruh lainnya.
Menanggapi pengaduan tersebut, Advokat Maliki, S.H. yang terkenal menangani perkara-perkara Publik dari organisasi Advokat PERADI Malang, bersama tim hukumnya menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan kajian dan analisa mendalam terhadap kasus ini.
“Buruh yang di-PHK memiliki hak yang sudah diatur dalam tata hukum perundang-undangan di Indonesia. Pengusaha tidak boleh bersikap sewenang-wenang dalam melakukan PHK tanpa memberikan hak-hak pekerjanya. Ini negara hukum, semua pihak wajib tunduk pada hukum,” tegas Maliki.

Menurut Maliki, kasus ini bukan hanya persoalan perdata dan administratif, tetapi juga bisa menyentuh aspek pidana dan sosial apabila ditemukan unsur pelanggaran serius terhadap hak pekerja.
Secara yuridis, ketentuan PHK dan hak pekerja diatur dalam:
PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja (PHK);
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Berdasarkan Pasal 40 PP No. 35 Tahun 2021, pengusaha wajib membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak ketika terjadi PHK. Untuk buruh dengan masa kerja lebih dari 12 tahun, hak penghargaan masa kerja bisa mencapai hingga 10 bulan upah.
Selain itu, Pasal 56 PP No. 35/2021 juga menegaskan bahwa buruh yang memasuki usia pensiun atau di-PHK karena alasan perusahaan tutup tetap berhak atas pesangon 1,75 kali ketentuan normal, termasuk uang penggantian hak dan tunjangan lainnya.
Sementara itu, Pasal 185 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 memberikan sanksi pidana bagi pengusaha yang dengan sengaja tidak membayar upah sesuai ketentuan, dengan ancaman penjara 1–4 tahun dan/atau denda Rp100–400 juta.
Apabila terbukti pengusaha menahan upah atau tidak memberikan hak pesangon secara sengaja, tindakan tersebut juga dapat dikategorikan sebagai penggelapan berdasarkan Pasal 372 KUHP, atau bahkan penipuan sebagaimana dimaksud Pasal 378 KUHP.
Tim hukum yang dipimpin Maliki, S.H. menyatakan akan segera menempuh langkah-langkah hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang, baik itu berupa mediasi bipartite atau bahkan mungkin melibatkan Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) setempat, hingga mempersiapkan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), ataupun membuat laporan hukum kepada penegak hukum bilamana diperlukan.
“Kami akan memastikan hak-hak buruh ini dipulihkan sebagaimana mestinya. Negara tidak boleh membiarkan praktik ketidakadilan dalam hubungan kerja,” tambah Maliki.
Kasus PHK sepihak yang menimpa para buruh Toga Mas menjadi pengingat penting bahwa keberlangsungan usaha tidak boleh mengorbankan hak dasar pekerja. Dalam sistem hukum Indonesia, hubungan industrial harus dilandasi asas keadilan, kemanusiaan, dan kepastian hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 27 dan 28D Undang-Undang Dasar 1945.
Prs/Hr







